Blogger Widgets

Popular posts

Archive for 2014

apa itu islam imani ihsan?

Kamis, 06 November 2014
Posted by Unknown

islam Mencakup 3 Tingkatan
Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.
Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.
Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)
Muslim, Mu’min dan Muhsin
Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)
Kesimpulan
Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at.
Posted by Unknown
Bagaimana keutamaan berbakti orang tua dalam Hadist Nabawy, diantaranya sebagaimana dijelaskan riwayat-riwayat berikut :

1.Lebih mulia daripada jihad

Beberapa riwayat hadist menjelaskan bahwa pertanyaan pertama bagi seorang pemuda yang hendak berjihad ialah menanyakan apakah kedua orang tuanya masih hidup, apakah kedua orang tuanya mengizinkannya untuk pergi berjihad, apakah orang tuanya begitu membutuhkan anaknya tersebut untuk dapat membantu mereka.

لحديث عبدالله بن عمر رضي الله عنهما قال: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ يَسْتَأْذِنُهُ فِي الجِهَادِ فَقَالَأَحَيٌّ وَالدَاكَ؟ قاَلَ: نَعَمْ، قالفَفِيْهِمَا فَجَاهِدْ


“Abdullah bin ‘Amr bin Ash r.a. berkata bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi saw. Dia meminta izin untuk ikut berperang. Maka Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup ?” Dia menjawab, “Ya.” Rasulullah saw bersabda, “Berjuanglah untuk kepentingan mereka.” (HR Bukhari Muslim)

Hadist di atas juga menjadi catatan bagi fenomena gerakan terorisme, yang mengaku mengatasnamakan jihad untuk melakukan apa saja, apakah oknum mereka merekut para pengantin (pelaku bom bunuh diri) atau tindakan terror lainnya telah meminta izin dari orang tua mereka?, apakah mereka tidak sadar bahwa ternyata berbakti kepada orang tua pada usia muda ialah suatu keutamaan agama ? Mengapa mereka justru mendahulukan suatu hal yang justru menyakiti hati para orang tua mereka dengan melakukan tindakan terror ? … dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang seharusnya menyadarkan kita bahwa terorisme bukanlah bagian dari ajaran agama Islam.

2. Orang Tua ialah pintu surga

Ternyata cara masuk surga tidak perlu jauh-jauh, ada pintu yang mudah dan istimewa yaitu berbakti kepada orang tua.

فعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله  يقولالوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنَّ شِئْتُ فَأَضَعُ ذَلِكَ الْباَبَ أَوْ اَحْفَظُهُ


“ORANG TUA adalah PINTU SURGA YANG PALING TENGAH, terserah kamu, hendak kamu terlantarkan ia, atau kamu hendak menjaganya”(Hadist riwayat Tirmidzi)

Maksud pintu surga yang paling tengah adalah pintu yang PALING BAGUS dan PALING TINGGI. Dengan kata lain, sebaik-baik sarana yang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga dan meraih derajat yang tinggi adalah dengan mentaati orangtua dan menjaganya.”

Selain itu ada pula hadist yang menyatakan kerugian dan celaka bagi orang yang tidak berbaki kepada orang tua :

وعن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال  رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ، قِيْلَ :مَنْ ياَ رَسُوْلُ اللهِ ؟ قال : مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُل الْجَنّةَ


Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh celaka… sungguh celaka… sungguh celaka..”, lalu dikatakan, “Siapakah itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yakni orang yang mendapatkan salah satu

orangtuanya, atau kedua orangtuanya berusia lanjut, namun ia tidak masuk surga.” (HR Muslim)

Berbakti kepada kedua orang tua

Kamis, 30 Oktober 2014
Posted by Unknown


Bagaimana keutamaan berbakti orang tua dalam Hadist Nabawy, diantaranya sebagaimana dijelaskan riwayat-riwayat berikut :

1.Lebih mulia daripada jihad

Beberapa riwayat hadist menjelaskan bahwa pertanyaan pertama bagi seorang pemuda yang hendak berjihad ialah menanyakan apakah kedua orang tuanya masih hidup, apakah kedua orang tuanya mengizinkannya untuk pergi berjihad, apakah orang tuanya begitu membutuhkan anaknya tersebut untuk dapat membantu mereka.

لحديث عبدالله بن عمر رضي الله عنهما قال: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ يَسْتَأْذِنُهُ فِي الجِهَادِ فَقَالَأَحَيٌّ وَالدَاكَ؟ قاَلَ: نَعَمْ، قالفَفِيْهِمَا فَجَاهِدْ


“Abdullah bin ‘Amr bin Ash r.a. berkata bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi saw. Dia meminta izin untuk ikut berperang. Maka Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup ?” Dia menjawab, “Ya.” Rasulullah saw bersabda, “Berjuanglah untuk kepentingan mereka.” (HR Bukhari Muslim)

Hadist di atas juga menjadi catatan bagi fenomena gerakan terorisme, yang mengaku mengatasnamakan jihad untuk melakukan apa saja, apakah oknum mereka merekut para pengantin (pelaku bom bunuh diri) atau tindakan terror lainnya telah meminta izin dari orang tua mereka?, apakah mereka tidak sadar bahwa ternyata berbakti kepada orang tua pada usia muda ialah suatu keutamaan agama ? Mengapa mereka justru mendahulukan suatu hal yang justru menyakiti hati para orang tua mereka dengan melakukan tindakan terror ? … dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang seharusnya menyadarkan kita bahwa terorisme bukanlah bagian dari ajaran agama Islam.

2. Orang tua ialah pintu surga

Ternyata cara masuk surga tidak perlu jauh-jauh, ada pintu yang mudah dan istimewa yaitu berbakti kepada orang tua.

فعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله  يقولالوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنَّ شِئْتُ فَأَضَعُ ذَلِكَ الْباَبَ أَوْ اَحْفَظُهُ


“ORANG TUA adalah PINTU SURGA YANG PALING TENGAH, terserah kamu, hendak kamu terlantarkan ia, atau kamu hendak menjaganya”(Hadist riwayat Tirmidzi)

Maksud pintu surga yang paling tengah adalah pintu yang PALING BAGUS dan PALING TINGGI. Dengan kata lain, sebaik-baik sarana yang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga dan meraih derajat yang tinggi adalah dengan mentaati orangtua dan menjaganya.”

Selain itu ada pula hadist yang menyatakan kerugian dan celaka bagi orang yang tidak berbaki kepada orang tua :

وعن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال  رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ، قِيْلَ :مَنْ ياَ رَسُوْلُ اللهِ ؟ قال : مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُل الْجَنّةَ


Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh celaka… sungguh celaka… sungguh celaka..”, lalu dikatakan, “Siapakah itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yakni orang yang mendapatkan salah satu

orangtuanya, atau kedua orangtuanya berusia lanjut, namun ia tidak masuk surga.” (HR Muslim)

NIAT

Hakikat niat

Kata Niat dalam bahasa Arab berarti mengingini sesuatu dan bertekad hati untuk mendapatkannya. Al-Azhari mengatakan bahwa kalimat ( Nawaakallahu ) artinya adalah ’semoga Allah menjagamu,` Orang Arab juga sering berkata (Nawaakallahu) dengan maksud ’semoga Allah menemanimu dalam perjalanan dan menjagamu.’ Dengan kata lain ( Niyyatu ) berarti kehendak atau ( Alqosdu ), yaitu yakinhya hati untuk melakukan sesuatu dan kuatnya kehendak untuk melakukannya tanpa ada keraguan. Sehingga ( Niyyatu ) dan menginginkan sesuatu ( Iroodatulfi`li ) adalah sinonim. Kedua kata tersebut sama-sama digunakan untuk menunjukkan pekerjaan yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi.


Sebagian pakar bahasa membedakan arti antara kata ( Niyyatu ) dengan kata ( ajmu ) Kata ( Niyyatu ) digunakan untuk menunjukkan keinginan yang berhubungan dengan perbuatan yang sedang dilakukan, sedangkan kata ( ajmu ) digunakan untuk menunjukkan keinginan yang berhubungan dengan perbuatan yang akan dilakukan. Tetapi, pembedaan makna ini ditentang oleh para ulama, karena dalam kitab-kitab yang membahas bahasa (kutub al- lughah) kata ( Niyyatu ) seringkah hanya diartikan dengan ( ajmu ).


Adapun menurut istilah syara’ (Niyyatu) adalah tekad hati untuk melakukan amalan fardhu atau yang lain. Niat juga dapat diartikan dengan keinginan yang berhubungan dengan pekerjaan yang sedang atau akan dilakukan. Atas dasar ini, maka setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berakal, dalam keadaan sadar dan atas inisiatif sendiri, pasti disertai engan niat baik perbuatan tersebut berkenaan dengan ibadah maupun adat kebiasaan. Perbuatan yang dilakukan oleh orang mukal- iaf tersebut merupakan objek yang menjadi sasaran hukum-iiukum syara’ seperti wajib, r.aram, nadb/sunnah, makruh, dan mubah.

Adapun per matan yang tidak disertai dengan niat, maka d’anggap perbuatan orang yang lalai, tidak diakui, dan tidak ada sangkut pautnya dengan hukum syara’. Apabila satu perbuatan dilakukan oleh orang yang tidak berakal dan tidak dalam keadaan sadar seperti dilakukan oleh orang gila, orang yang lupa, orang yang tidak sengaja, atau orang yang dipaksa, maka perbuatan tersebut tidak diakui dan tidak ada kaitannya dengan hukum-hu- kum syara’ yang telah disebut di atas. Karena, perbuatan tersebut tidak disertai dengan niat, dan perbuatan tersebut tidak diakui oleh syara’ dan tidak ada kaitannya dengan tuntutan (thalab) atau tawaran untuk memilih (takhyir).


Apabila perbuatan tersebut termasuk adat kebiasaan seperti makan, minum, berdiri, duduk, berbaring, berjalan, tidur, dan sebagai- nya yang dilakukan oleh orang berakal, dalam keadaan sadar dan tanpa niat, maka perbuatan tersebut dihukumi boleh, jika tidak dibarengi dengan perbuatan yang dilarang atau yang diwajibkan. Dan juga, perbuatan tersebut diakui/dinilai oleh syara’.


Mungkin ada yang bertanya mengapa wudhunya orang yang lupa menjadi batal; orang gila atau anak kecil diwajibkan mengganti benda-benda yang dia rusak, dan mengapa orang yang tidak sengaja melakukan pembunuhan, memotong anggota badan orang lain, menghilangkan fungsi pendengaran dan penglihatan, menampar atau menyebabkan bergesernya sendi tulang diwajibkan membayar denda (diyat)? Ketiga kasus ini tidak ada hubungannya dengan hukum syara’, melainkan ia berhubungan dengan hukum natural [al-hukm al-wadh’i), yaitu hukum-hukum yang berupa sebab, syarat, penghalang, atau hukum shahih, fasid, ‘azimah, atau rukhshah. Sehingga, merusak harta orang lain menjadi sebab wajibnya mengganti kerusakan tersebut, baik yang melakukan kerusakan itu anak kecil maupun orang dewasa, orang berakal maupun orang gila.


Apabila kita perhatikan lagi, maka kita dapati bahwa makna niat dalam puasa adalah keinginan secara umum (al-iradah al-kulli- yyah), dan hal ini merupakan makna niat secara umum. Sehingga, niat puasa dari malam hari tetap dianggap sah, dan niat puasa tidak disyaratkan harus berbarengan dengan awai memulai puasa, yaitu sewaktu menyingsingnya fajar. Sehingga kalau seandainya ada orang yang niat pada malam hari kemudian makan lalu puasa, maka sah puasanya. Adapun selain puasa, yaitu ibadah-ibadah yang menuntut niat, harus dibarengkan dengan awai perbuatan supaya sah. Maka dalam melakukan niat tersebut, seseorang harus melakukannya dengan nyata (tahqiqan), yaitu memunculkan keinginan berbarengan dengan awai perbuatan. Inilah yang dimaksud dengan niat sebagai rukun ibadah seperti wudhu, mandi wajib, ta- yamum, shalat, puasa, zakat, dan haji, sebagaimana pendapat ulama-ulama madzhab Syafi’i.


Begitu juga dengan niat-niat akad dan faskh yang berbentuk ungkapan majaz (kina- yah), niat dalam akad seperti itu harus nyata (fahqiq), yaitu munculnya niat harus berbarengan dengan lafal akad yang berbentuk kinayah, atau berbarengan dengan penulisan atau berbarengan dengan isyarat orang bisu yang dapat dipahami oleh orang yang mengetahuinya. Begitu juga dalam masalah pengecualian (al-istitsna’j dalam ikrar dan talak, syarat (ta’Iiq) talak dengan menggunakan ka- limah "insya Allah," maka niatnya harus ber bentuk niat yang nyata-nyata (tahqiq) muncul di hati sebelum selesai mengucapkan kata yang dikecualikan.


Kesimpulan dalam pembahasan hakikat niat adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rajab al-Hambali. Ketahuilah, sesungguhnya niat menurut arti bahasa adalah satu bentuk dari keinginan. Meskipun ada yang membedakan antara kata iradah, qushd, niyah, dan ’azam, namun bukan di sini tempat untuk membahasnya. Menurut ulama niat mempunyai dua makna. Pertama, untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, seperti untuk membedakan shalat Zhu- hur dengan shalat Ashar, untuk membedakan antara puasa Ramadhan dengan puasa yang lain, atau untuk membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan seperti untuk membedakan antara mandi wajib dengan mandi untuk menyegarkan atau membersihkan ba- dan. Makna niat seperti ini adalah yang paling banyak dijumpai dalam kitab-kitab fiqih.


Kedua, untuk membedakan tujuan melakukan suatu amalan, apakah tujuannya adalah karena Allah saja atau karena Allah dan juga lain-Nya. Ini adalah maksud niat yang dibincangkan oleh para al-’Arifurt (ahli ma’rifat] dalam kitab yang membahas masalah ikhlas. Makna ini juga yang banyak dijumpai dalam ucapan ulama-ulama salaf. Imam Abu Bakar bin Abid Dunya mengarang sebuah kitab dengan judul Kitab al-Ikhlaash wan- Niyah, dan yang dimaksud dengan an-Niyah dalam kitab tersebut adalah niat dengan makna yang kedua ini. Makna kedua ini juga yang berulangkah dimaksudkan oleh Rasulullah saw. dalam sabda-sabdanya. Kadang-kadang beliau menggunakan kata dan kadang menggunakan kata yang semakna. Makna yang kedua ini juga banyak disebut oleh Al-Qur’an tetapi tidak menggunakan kata (O), melainkan menggunakan kata-kata lain yang mempunyai makna hampir sama.


Ulama yang membedakan antara kata an- niyah, al-iradah, al-qashdu dan lain-lain lagi bermaksud mengkhususkan kata an-niyah untuk menunjukkan makna yang pertama yang biasa dipakai oleh ulama fiqih. Namun, ada juga ulama yang mengatakan bahwa an-niyah adalah khusus untuk yang dilakukan oleh orang yang berniat, sedangkan kata al-iradah lebih umum dan tidak dikhususkan untuk apa yang dilakukan oleh orang yang berniat saja. Con- tohnya adalah "manusia ingin (yuridu) Allah mengampuni dosanyauntuk mengungkapkan kalimat ini tidak digunakan kata an-niyah. Sebagaimana sudah saya terangkan bahwa kata an-niyah dalam sabda Rasul dan ucapan- ucapan ulama salaf menunjukkan kepada arti yang kedua. Sehingga, ia juga mempunyai arti al-iradah. Oleh sebab itu, dalam Al-Qur’an kata al-iradah sering digunakan.

Kemurahan hati Umar bin Khattab


UMAR BIN KHATTAB


Saat menjabat sebagai Khalifah, Umar bin Khattab pernah menghadapi cobaan yang cukup berat. Saat itu, umat Islam dilanda paceklik karena masuk dalam tahun abu.



Di tahun itu, semua bahan makanan sulit didapat. Hasil pertanian sebagian besar tidak dapat dikonsumsi, sehingga menyebabkan umat Islam menderita kelaparan.



Suatu malam, Khalifah Umar bin Khattab mengajak seorang sahabat bernama Aslam menjalankan kebiasaannya menyisir kota. Dia hendak memastikan tidak ada warganya yang tidur dalam keadaan lapar.



Sampai pada satu tempat, Umar dan Aslam berhenti. Dia mendengar tangisan seorang anak perempuan yang cukup keras. Umar kemudian memutuskan untuk mendekati sumber suara itu, yang berasal dari sebuah tenda kumuh.



Setelah dekat, Umar mendapati seorang wanita tua terduduk di depan perapian sambil mengaduk panci menggunakan sendok kayu. Umar kemudian menyapa ibu tua itu dengan mengucap salam.



Si ibu tua itu menoleh kepada Umar dan membalas salam tersebut. Tetapi, si ibu kemudian melanjutkan kegiatannya.



"Siapakah yang menangis di dalam?" tanya Umar kepada ibu tua.



"Dia anakku," jawab ibu tua itu.



"Mengapa dia menangis? Apakah dia sakit?" tanya Umar lagi.



"Tidak. Dia kelaparan," jawab si ibu.



Umar dan Aslam kemudian tertegun. Setelah beberapa lama, keduanya merasa heran melihat si ibu tua tak juga selesai memasak.



Untuk mengatasi rasa herannya, Umar kemudian bertanya, "Apa yang kau masak itu? Kenapa tidak matang juga?"



Si ibu kemudian menoleh, "Silakan, kau lihat sendiri."



Umar dan Aslam kemudian menengok isi panci itu. Mereka seketika terkaget menjumpai isi panci yang tidak lain berupa air dan batu.



"Apakah kau memasak batu?" tanya Umar dengan sangat kaget. Si ibu menjawab dengan menganggukkan kepala.



"Untuk apa kau masak batu itu?" tanya Umar lagi.



"Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku yang sedang kelaparan. Semua ini adalah dosa Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak mau memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sejak pagi aku dan anakku belum makan sejak pagi. Makanya kusuruh anakku berpuasa dan berharap ada rezeki ketika berbuka. Tapi, hingga saat ini pun rezeki yang kuharap belum juga datang. Kumasak batu ini untuk membohongi anakku sampai dia tertidur," kata ibu tua itu.



"Sungguh tak pantas jika Umar menjadi pemimpin. Dia telah menelantarkan kami," sambung si ibu.



Mendengar perkataan itu, Aslam berniat menegur si ibu dengan mengingatkan bahwa yang ada di hadapannya adalah sang Khalifah. Namun, Umar kemudian menahan Aslam, dan segera mengajaknya kembali ke Madinah sambil meneteskan air mata.



Sesampai di Madinah, tanpa beristirahat, Umar langsung mengambil sekarung gandum. Dipikulnya karung gandum itu untuk diserahkan kepada sang ibu.



Melihat Umar dalam kondisi letih, Aslam segera meminta agar gandum itu diangkatnya. "Sebaiknya aku saja yang membawa gandum itu, ya Amirul Mukminin," kata dia.



Dengan nada keras, Umar menjawab, "Aslam, jangan kau jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau bisa menggantikanku mengangkat karung gandum ini, tetapi apakah kau mau memikul beban di pundakku ini kelak di Hari Pembalasan?"



Aslam pun tertegun mendengar jawaban itu. Dia tetap mendampingi Khalifah mengantarkan sekarung gandum itu kepada si ibu tua.

Keutamaan mempelajari al-quran

Rabu, 29 Oktober 2014
Posted by Unknown

Hadits-Hadits Tentang Keutamaan Membaca Al-qu’an

Hadits-Hadist Tentang Keutamaan Membaca Al-Qur’an
Bulan Ramadhan merupakan bulan Al-Qur`an. Pada bulan inilah Al-Qur`an diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana dalam firman-Nya :

)شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ (البقرة: ١٨٥

“bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil).” [Al-Baqarah : 185]
Di antara amal ibadah yang sangat ditekankan untuk diperbanyak pada bulan Ramadhan adalah membaca (tilawah) Al-Qur`anul Karim. Banyak sekali hadits-hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan tentang keutamaan membaca Al-Qur`an. Di antaranya :
1.      Dari shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu : Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

« اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه »

“Bacalah oleh kalian Al-Qur`an. Karena ia (Al-Qur`an) akan datang pada Hari Kiamat kelak sebagai pemberi syafa’at bagi orang-orang yang rajin membacanya.” [HR. Muslim 804]
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membaca Al-Qur`an dengan bentuk perintah yang bersifat mutlak. Sehingga membaca Al-Qur`an diperintahkan pada setiap waktu dan setiap kesempatan. Lebih ditekankan lagi pada bulan Ramadhan. Nanti pada hari Kiamat, Allah subhanahu wata’ala akan menjadikan pahala membaca Al-Qur`an sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, datang memberikan syafa’at dengan seizin Allah kepada orang yang rajin membacanya.
Faidah (Pelajaran) yang diambil dari hadits :
  1. Dorongan dan motivasi untuk memperbanyak membaca Al-Qur`an. Jangan sampai terlupakan darinya karena aktivitas-aktivitas lainnya.
  2. Allah jadikan Al-Qur`an memberikan syafa’at kepada orang-orang yang senantiasa rajin membacanya dan mengamalkannya ketika di dunia.
2.      Dari shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu : Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

« … اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ : الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ؛ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلاَ تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ ».

“Bacalah oleh kalian dua bunga, yaitu surat Al-Baqarah dan Surat Ali ‘Imran. Karena keduanya akan datang pada hari Kiamat seakan-akan keduanya dua awan besar atau dua kelompok besar dari burung yang akan membela orang-orang yang senantiasa rajin membacanya. Bacalah oleh kalian surat Al-Baqarah, karena sesungguhnya mengambilnya adalah barakah, meninggalkannya adalah kerugian, dan sihir tidak akan mampu menghadapinya.[HR. Muslim 804]
3. Dari shahabat An-Nawwas bin Sam’an Al-Kilabi radhiallahu ‘anhuberkata : saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallambersabda :

« يُؤْتَى بِالْقُرْآنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَهْلِهِ الَّذِينَ كَانُوا يَعْمَلُونَ بِهِ تَقْدُمُهُ سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَآلُ عِمْرَانَ تُحَاجَّانِ عَنْ صَاحِبِهِمَا ».

“Akan didatangkan Al-Qur`an pada Hari Kiamat kelak dan orang yang rajin membacanya dan senantiasa rajin beramal dengannya, yang paling depan adalah surat Al-Baqarah dan surat Ali ‘Imran, keduanya akan membela orang-orang yang rajin membacanya.”[HR. Muslim 805]
Pada hadits ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberitakan bahwa surat Al-Baqarah dan Ali ‘Imran akan membela orang-orang yang rajin membacanya. Namun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mempersyaratkan dalam hadits ini dengan dua hal, yaitu :
-          Membaca Al-Qur`an, dan
-          Beramal dengannya.
Karena orang yang membaca Al-Qur`an ada dua type :
-          type orang yang membacanya namun tidak beramal dengannya, tidak mengimani berita-berita Al-Qur`an, tidak mengamalkan hukum-hukumnya. Sehingga Al-Qur`an menjadi hujjah yang membantah mereka.
-          Type lainnya adalah orang-orang yang membacanya dan mengimani berita-berita Al-Qur`an, membenarkannya, dan mengamalkan hukum-hukumnya, … sehingga Al-Qur`an menjadi hujjah yang membela mereka.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

القرآن حجة لك أو عليك

“Al-Qur`an itu bisa menjadi hujjah yang membelamu atau sebaliknya menjadi hujjah yang membantahmu.” [HR. Muslim]
Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa tujuan terpenting diturunkannya Al-Qur`an adalah untuk diamalkan. Hal ini diperkuat oleh firman Allah subhanahu wata’ala :

كتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا آياته وليتذكر أولوا الألباب )

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka mentadabburi (memperhatikan) ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” [Shad : 29]
“supaya mereka mentadabburi”, yakni agar mereka berupaya memahami makna-maknanya dan beramal dengannya. Tidak mungkin bisa beramal dengannya kecuali setelah tadabbur. Dengan tadabbur akan menghasilkan ilmu, sedangkan amal merupakan buah dari ilmu.
Jadi inilah tujuan diturunkannya Al-Qur`an :
-          untuk dibaca dan ditadabburi maknanya
-          diimani segala beritanya
-          diamalkan segala hukumnya
-          direalisasikan segala perintahnya
-          dijauhi segala larangannya
Faidah (Pelajaran) yang diambil dari hadits :
1.        Al-Qur`an sebagai pemberi syafa’at bagi orang-orang yang rajin membacanya dan beramal dengannya.
2.        Ilmu mengharuskan adanya amal. Kalau tidak maka ilmu tersebut akan menjadi hujjah yang membantahnya pada hari Kiamat.
3.        Keutamaan membaca surat Al-Baqarah dan Ali ‘Imran
4.        Penamaan surat-surat dalam Al-Qur`an bersifat tauqifiyyah.
4.       Dari shahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu berkata, bahwaRasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

(( خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ )) رواه البخاري .

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya.” [Al-Bukhari 5027]
Orang yang terbaik adalah yang terkumpul padanya dua sifat tersebut, yaitu : mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya. Ia mempelajari Al-Qur`an dari gurunya, kemudian ia mengajarkan Al-Qur`an tersebut kepada orang lain. Mempelajari dan mengajarkannya di sini mencakup mempelajari dan mengajarkan lafazh-lafazh Al-Qur`an; dan mencakup juga mempelajari dan mengajarkan makna-makna Al-Qur`an.
5.      Dari Ummul Mu`minin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, bahwaRasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

(( الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ وَهُوَ مَاهِرٌ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ الكِرَامِ البَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أجْرَانِ )) متفقٌ عَلَيْهِ

“Yang membaca Al-Qur`an dan dia mahir membacanya, dia bersama para malaikat yang mulia. Sedangkan yang membaca Al-Qur`an namun dia tidak tepat dalam membacanya dan mengalami kesulitan, maka baginya dua pahala.” [Al-Bukhari 4937, Muslim 244]
Orang yang mahir membaca Al-Qur`an adalah orang yang bagus dan tepat bacaannya.
Adapun orang yang tidak tepat dalam membacanya dan mengalami kesulitan, maka baginya dua pahala : pertama, pahala tilawah, dan kedua, pahala atas kecapaian dan kesulitan yang ia alami.
6.      Dari shahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

(( مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ مَثَلُ الأُتْرُجَّةِ : رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ ، وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ القُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ : لاَ رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ ، وَمَثلُ المُنَافِقِ الَّذِي يقرأ القرآنَ كَمَثلِ الرَّيحانَةِ : ريحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ ، وَمَثَلُ المُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ القُرْآنَ كَمَثلِ الحَنْظَلَةِ : لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ )) متفقٌ عَلَيْهِ .

“Perumpaan seorang mu`min yang rajin membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Al-Atrujah : aromanya wangi dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mu`min yang tidak membaca Al-Qur`an adalah seperti buah tamr (kurma) : tidak ada aromanya namun rasanya manis.
Perumpamaan seorang munafiq namun ia rajin membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Raihanah : aromanya wangi namun rasanya pahit. Sedangkan perumpaan seorang munafiq yang tidak rajin membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Hanzhalah : tidak memiliki aroma dan rasanya pun pahit.” [Al-Bukhari 5427, Muslim797]
Seorang mu`min yang rajin membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Al-Atrujah, yaitu buah yang aromanya wangi dan rasanya enak. Karena seorang mu`min itu jiwanya bagus, qalbunya juga baik, dan ia bisa memberikan kebaikan kepada orang lain. Duduk bersamanya terdapat kebaikan. Maka seorang mu`min yang rajin membaca Al-Qur`an adalah baik seluruhnya, baik pada dzatnya dan baik untuk orang lain. Dia seperti buah Al-Atrujah, aromanya wangi dan harum, rasanya pun enak dan lezat.
Adapun seorang mu’min yang tidak membaca Al-Qur`an adalah seperti buah kurma. Rasanya enak namun tidak memiliki aroma yang wangi dan harum. Jadi seorang mu’min yang rajin membaca Al-Qur`an jauh lebih utama dibanding yang tidak membaca Al-Qur`an. Tidak membaca Al-Qur`an artinya tidak mengerti bagaimana membaca Al-Qur`an, dan tidak pula berupaya untuk mempelajarinya.
Perumpamaan seorang munafiq, namun ia rajin membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Raihanah : aromanya wangi namun rasanya pahit. Karena orang munafiq itu pada dzatnya jelek, tidak ada kebaikan padanya. Munafiq adalah : orang yang menampakkan dirinya sebagai muslim namun hatinya kafir -wal’iyya dzubillah-. Kaum munafiq inilah yang Allah nyatakan dalam firman-Nya :
Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” [Al-Baqarah : 8 - 10]
Didapati orang-orang munafiq yang mampu membaca Al-Qur`an dengan bacaan yang bagus dan tartil. Namun mereka hakekatnya adalah para munafiq -wal’iyyadzubillah- yang kondisi mereka ketika membaca Al-Qur`an adalah seperti yang digambarkan oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam :

يقرؤون القرآن لا يتجاوز حناجرهم

“Mereka rajin membaca Al-Qur`an, namun bacaan Al-Qur`an mereka tidak melewati kerongkongan mereka.”
Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengumpamakan mereka dengan buah Raihanah, yang harum aromanya, karena mereka terlihat rajin membaca Al-Qur`an; namun buah tersebut pahit rasanya, karena jelek dan jahatnya jiwa mereka serta rusaknya niat mereka.
Adapun orang munafiq yang tidak rajin membaca Al-Qur`an, maka diumpamakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam seperti buah Hanzhalah, rasanya pahit dan tidak memiliki aroma wangi. Inilah munafiq yang tidak memiliki kebaikan sama sekali. Tidak memiliki aroma wangi, karena memang ia tidak bisa membaca Al-Qur`an, disamping dzat dan jiwanya adalah dzat dan jiwa yang jelek dan jahat.
Inilah jenis-jenis manusia terkait dengan Al-Qur`an. Maka hendaknya engkau berusaha agar menjadi orang mu`min yang rajin membaca Al-Qur`an dengan sebenar-benar bacaan, sehingga engkau seperti buah Al-Atrujah, aromanya wangi, rasanya pun enak.
7.      Dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

(( إنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الكِتَابِ أقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخرِينَ )) رواه مسلم .

“Sesungguhnya Allah dengan Al-Qur`an ini mengangkat suatu kaum, dan menghinakan kaum yang lainnya.” [HR. Muslim 269]